Kesadaran Belajar Membaca Sastra Lokal Dalam Sastra Indonesia Modern

Esai: Selendang Sulaiman

“Saya lahir di kampung pajhagungan, ujung timur daya Madura. Saya belajar menulis puisi dari kampung terpencil itu sejak akhir tahun 2005. Puisi-puisi yang lahir ketika itu tak lain dari cinta menurut sinetron. Selebihnya adalah puisi tentang doa dan cerita-cerita menggelikan dari orang-orang tua. Misalnya cerita hantu di malam jum’at, ada amperre, mukmauk, giggik mumuk, thinthethin, yang semuanya itu disebut cobha.” Maman bercerita sama selendang suatu malam. Selendang lahir di jogja. Selendang tidak kenal sama hantu yang disebut Maman dan Maman juga tidak kenal sama hantu di Jogja yang juga disebutkan oleh Selendang. Selendang dan Maman juga tidak tahu nama-nama hantu yang ada di Banten, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Lombok, dan di pelosok-pelosok nusantara yang begitu banyak itu. Sebab Maman orang Madura dan Selendang orang Jogja. Tetapi, Selendang dan Maman sama-sama tahu dan kenal sekali (lewat film horor) hantu Indonesia yakni Kuntilanak dan Pocong, hantu Amerika dan Eropa yaitu Drakula dan hantu China adalah Vampir.

Jika sastra semacam keber-ada-an hantu seperti dalam dua paragraf cerita (yang sangat) pendek rekaan di atas. Maka, mudahlah untuk menjawab pertanyaan berikut: (masih) adakah sastra lokal? Seperti apa bentuk sastra lokal? Sejak kapan sastra lokal itu ada? Kemudian setelah Indonesia terbentuk pada tahun 17 Agustus 1945, lahir pula yang namanya sastra modern Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah: sejak kapan sastra Indonesia ada? Dan kini apa yang terjadi dengan sastra lokal yang usut punya usut telah menguasai sastra nasional?

Sulit, karna karya sastra bukan hantu! Sehingga menjadi serba sulit pertanyaan-pertanyaan itu. Jika, dalam usaha menjawabnya tidak menoleh ke belakang, menoleh pada sejarah belasan ratus tahun yang lalu, dimana sastra di daerah-daerah sudah ada. Karya sastra yang ditulis oleh kaum Brahmana di zaman Hindu-Budha menjadi alat komunikasi antar daerah di nusantara. Bahasanya bahasa jawa kuno dan hurufnya huruf pallawa. Padahal di daerah-daerah itu memiliki bahasa daerah sendiri dan huruf yang berlaku di masyarakat juga berbeda. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi kebudayaan antar daerah. Di zaman ini, kesusastraan hanya ditulis dalam bahasa jawa kuno dan hanya ditulis oleh kaum brahmana dan ksatria yang memang boleh membaca karya-karya sastra dan ilmu pengetahuan lainnya. Intinya, bahasa jawa kuno menjadi bahasa antar bangsa di Nusantara pada masa ini.

Kemudian pada masa Islam masuk ke nusantara, sastra ditulis untuk kepentingan penyebaran Islam, yang ditulis oleh para kaum sufi, baik di Aceh, Sumatra dan Jawa. Pada masa penyebaran Islam, karya sastra (Islam) telah  ditulis dalam bahasa melayu sebagai bahasa komunikasi di nusantara, sebagain ada yang menulis dengan hurus arab gundul. Selain itu pula, sastra di daerah ditulis dengan bahasa-bahasa yang dipakai di masyarakat. Maka bahasay Melayu di masa ini menjadi bahasa komunikasi antar bangsa. Baik komunikasi dalam rangka menyebarkan Islam, ekonomi, politik maupun budaya. Sehingga Bahasa melayu di kemudian hari berkembang menjadi bahasa Indonesia yang di proklamirkan dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia adalah bahasa komunikasi bangsa Indonesia di tanah air “bernama Indonesia” yang Negaranya baru terbentuk pasca Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Dengan menyebut kedua tradisi penulisan sastra yang berbeda itu. Seandainya saja ditulis dengan detail terperinci priodisasasinya, akan dengan mudah untuk menemukan waktu kapan sastra lokal itu lahir dan diberi nama. Namun demikian, bukan berarti tidak bisa dipikir dan diperkirakan sejak kapan sastra lokal itu ditulis oleh sastrawan di Indonesia. Bukankan di dalam dua paragraf (jika boleh disebut bagian) sejarah singkat tadi, dapat dilihat adanya sastra lokal yang ditulis oleh kaum brahmana dan ksatri bagi para raja-raja di daera-daerah kekuasaanya di seluruh nusantara. Tanpa terkecuali, sastra yang ditulis itu juga dibaca oleh rakyat sebagai pelipur lara dan sebagiannya sebagai dongeng jenaka dan motivasi hidup. 

Saya menyadari, jika apa yang saya tulis belum menyentuh pada contoh yang berbentuk karya sastra yang berisi ide ata tema lokalitas. Bahkan tanpa menyebut nama sastrawan serta karyanya. Ini menunjukkan jika saya belum memiliki keberanian untuk menuliskan beberapa nama sastrawan dan karya-karyanya yang dapat ditemukan dalam sejarah sastra Indonesia yang telah ditentukan periodisasinya. Disitulah sebenarnya kesulitan yang saya maksud. Kesulitan untuk mencari dan menemukan garis-garis sastra lokal beserta alat ukur yang pantas dipakai seperti sastrawan-sastrawan terdahulu. Saya kemudian menjadi tidak tahu untuk menyebut sejarah munculnya atai penamaan pertama kali akan adanya sastra lokal. Apalagi saya mesti menyebut salah satu karya sastra karya sastrawan yang akan dibilang sebagai karya sastra yang bentuknya maupun isinya menunjukkan tanda-tanda sastra lokal. 

Baiklah, sastra lokal dulu dan kini adalah sama saja sebenarnya. Sastra lokal itu menurut sejarahnya semacam tradisi lisan, babad, serat, lakon pewayangan, dongeng, cerita rakyat, pantun dan lain-lain yang sebenarnya berkembang di daerah-daerah. Itu dulu, dulu sekali sebelum oraganisasi Boedi Oetomo terbentuk pada tahun 1908. Walaupun menjelang awal abad ke-20 atau di akhir sepanjang abad ke-18 dan ke-19 sastra lokal yang dimaksud sudahlah berkembang dan mengakar di daerah-daerah, misalnya di aceh, jawa, sunda, bali, sumbawa, minangkabau, aceh dan sebagainya di nusantara ini. Sastra lokal yang bagaimana, sastra lokal yang bahasanya menggunakan bahasa daerah. Bagaimana dengan sastra yang berbahasa jawa kuno dan bahasa melayu yang keduanya di masa tertentu dipakai sebagai bahasa antar bangsa itu? Ya, dapat pula disebut sebagai sastra lokal apabila temanya mengandung tema-tema lokalitas. Sebab setiap bangsa akan menjunjung tinggi kebudayaannya. Pengakuan dan pemeliharaan terhada kebudayaan tersebut dalam konteks nusantara adalah dengan terjalinnya komunikasi budaya antar daerah.

Nah, sejak tahun 1908 itulah tumbuhlah dan sekaligus berkembang pesat kesusastraan Indonesia modern. Persis mbersamaan dengan bangkit dan berkobarnya kesadaran kebangsaan Indonesia ketika itu. Selanjutnya pada tahun 1917, sembilan tahun kemudian dari hari Sumpah Pemuda, Komisi Bacaan Rakyat didirikan yang kemudian menjadi Balai Pustaka namanya. Maka Balai Pustakalah yang memiliki peran penting dalam penerbitan karya-karya sastra Indonesia dan juga memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan keusastraan Indonesia modern. Disinilah kemudian Nugroho Notosusanto yang dikutip oleh Ajip Rosidi, membuat batas antara kesusastraan Melayu dengan kesusastraan Indonesia modern. Lantas, sastra lokal dimana letaknya pada masa itu? 

Dalam buku-buku sejararah sastra Indonesia sejak awal mula itu, akan dapat ditemukan banyak nama sastrawan dan karyanya yang tentu akan menunjukkan bentuknya sendiri-sendiri. Bentuk yang dimaksud adalah karya sastra lokal. Maka, dapat dikatakan jika sastra lokal dalam kesastraan Indonesia modern memang selalu ada. Buktinya apa? Ada dalam buku, sebab ini butuh penelitian lagi. Oleh karena saya baru mau belajar membaca tentang keberadaan sastra lokal itu dalam sastra indonesia modern atau sastra nasional (istilah masa kini, di tengah maraknya sastra lokal di berbagai media massa). 

Rasanya, saya tidak menunjukkan pertanda terhadap adanya sastra lokal dengan jelas sampai disini. Oleh sebab itu, ingin rasanya saya mengutip beberapa kata orang dalam esainya tentang sastra lokal. Pertama saya ingin menyubutkan Budi P. Hatees yang menyatakan dalam esainya Ide Lokalitas dalam Sastra . Tulisannya itu saya daur ulang sesuai dengan kadar pemahaman saya dalam membaca. Begini inti-inti dari pernyataan Budi P. Hatees: 

Dewasa ini ide-ide lokalitas ramai bermunculan dalam kreativitas bersastra di Indonesia. Fenomena tersebut dipicu oleh bangkitnya kesadaran sastrawan atas realitas politik kebudayaan di daerah pasca membesarnya wewenang di era otonomi daerah. Dimana berbagai pihak mulai terdorong dalam memikirkan dan merenungkan untuk membangun kebudayaan di daerah-daerah. 

Para sastrawan-pun ambil bagian dalam upaya membangun kebudayaannya. Puisi, cerpen dan novel lahir mengangkat tema-tema lokalitas, nilai-nilai tradisi dan kosa-kata daerah-pun banyak dijadikan di dalam karya sastra. Terlepas jika sebagai karya sastra yang bertema lokalitas itu memang terkesan dipaksakan, sehingga pembaca tidak cukup sanggup memasuki karya itu. Salah satu penyebabnya, disebabkan sastrawan-nya terjebak dalam trend kekinian, dimana sastra yang bertema lokalitas yang dianggap karya yang segar dan dengan mudah menjadi mashur dan mungkin juga mudah dimuat di media massa.

Para sastrawan dengan karya-karyanya yang menyinggung nilai-nilai tradisi dimana dia hidup, seolah tidak diimbangi dengan cita-cita besar untuk mengangkat citra dan martabat budaya lokal ke ranah intelektualitas, sehingga dapat dengan mudah diterima oleh berbagai lapisan massa, khususnya di jajaran sesama sastrawannya yang berbeda teritorial yang tentu berbeda pula kebudayaannya. Dengan demikian tanpak nyatalah bila para sastrawan belum sepenuhnya jujur dalam menulis karya dengan tema lokalitas. Sebab belum mampu meletakkan eksistensi dirinya sebagai bagian masyarakat yang memiliki kebudayaan itu ke dalam karyanya. Sehingga karyanya menjadi tidak hidup tanpa ada roh dan jiwa. Kesan terakhir yang muncul adalah, ide-ide lokalitaslah yang menjadi bingkai pengindah terhadap karyanya yang dilahirkan.

Apabila menengok ke sejarah lahirnya sastra Indonesia, maka akan ditemukanide-ide lokalitas dalam karya sastra pada puluhan tahun silam. Jadi, sastra  bertema lokalitas bukan hal baru di negeri ini. Sebenarnya, jauh sebelum Pemerintah Hindia Belanda memfasilitasi para sastrawan pada masa kolonialisme untuk menerbitkan novel-novel sebagian sastrawan yang mengangkat tema-tema lokal -seperti kawin paksa dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar- hampir semua karya sastra mengangkat ide-ide lokalitas. Lokalitas itu identik dengan sastra tradisional yang penciptaannya untuk membangun tradisi budaya masyarakat karena diperuntukkan bagi masyarakat pemilik tradisi itu sendiri.

Kemudian apa yang mereka ciptakan itu, hari ini kita sebut tradisi, seperti pantun, sastra lisan daerah, dongeng, cerita rakyat, foklor, bahkan mitos. Kita akhirnya mengenal Malin Kundang, misalnya, sebagai karakter lokal dari lingkungan kebudayaan Minangkabau. Malin Kundang dihadirkan pengarangnya sebagai narasi yang berpretenssi menasehati agar anak-anak Minangkabau tidak durhaka kepada ibu mereka. Begitu juga halnya dengan karakter-karakter lain yang muncul dari lingkungan lokal masyarakat budaya kita, mulai dari Sangkuriang di Jawa Barat sampai Lala Bueng di Sumbawa Barat. Zaman ketika sosok karakter manusia dalam dongeng-dongeng itu diciptakan adalah sebuah zaman dimana konsep negara kebangsaan Republik Indonesia belum terpikirkan.

Ide-ide lokalitas dalam sastra kita semakin fenomenal di era otonomi daerah. Pada era ini pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar bagi daerah untuk melestarikan nilai-nilai tradisi budaya warisan leluhur budayanya, namun momentum ini tak bisa dimaksimalkan para pejabat pemerintah daerah. Dalam situasi kebudayaan daerah yang stagnan di tangan pejabat pemerintah daerah, para sastrawan muncul dengan ide-ide lokalitas dalam karya mereka. Kita bisa mengedepankan novel Laskar Pelangi yang mengangkat lokalitas Belitung, yang kemudian justru menjadi pemantik bagi pemerintah daerah untuk lebih serius memikirkan masalah-masalah kebudayaan Belitung dengan memperkenalkan sebuah festival pariwiata yang ditata setiap tahun.

Jadi, Ide-ide lokalitas adalah hasil kreativitas intelektual sastra dalam rangka membaca ulang realitas-realitas lokal dan menjadikannya sebagai fondasi teks sastra. 

Begitulah apa yang saya dapat dari pembacaan saya terhadap sastra lokal dalam sastra Indonesia modern. Untuk mengetahui tepat dan pastinya kapan sastra lokal itu lahir, belum saya dapat ketahui pastinya. Tetapi menurut perkiraan, sudah sejak tradisi sastra lisan itu ada. Sejak sastra ada di nusantara ini. Terkecuali jika batas waktunya akan disepakati sejak Indonesia terbentuk sebagai Negara Kesatuan, yaitu 17 Agustus 1945. Maka sastra lokal ada sejak awal kemerdekaan. Sampai disini, sepertinya beberapa pertanyaan yang diajukan diawal belum terjawab. Pertama, (masih) adakah sastra lokal? Jawabannya adalah tentu masih ada dan bahkan kian semarak, karena adanya kesadaran untuk mengangkat martabat kebudayaan di daerah-daerah seperti yang telah disebutkan. 

Kedua, Seperti apa bentuk sastra lokal? Pertanyaan ini mungkin dapat dijawab dengan bantuan Maman S Mahayana dalam karya kritik sastranya yang berjudul “Lokaliltas dalam Sastra Indonesia”. Maman S Mahayana mengatakan, Lokalitas dalam sastra (teks) mestinya diperlakukan bukan sekadar latar an sich, melainkan sebuah wilayah kultural yang membawa pembacanya pada medan tafsir tentang situasi sosio-kultural yang mendekam di belakang teks. Di sana lokalitas bukan abstraksi tentang ruang atau wilayah dalam teks yang beku, melainkan ruang kultural yang menyimpan sebuah potret sosial, bahkan juga ideologi yang direpresentasikan melalui interaksi tokoh-tokohnya dan dinamika kultural yang mengungkapkan dan menyimpan nilai-nilai tentang manusia dalam kehidupan berkebudayaan. Lokalitas –menyitir pandangan Melani Budianta—adalah “proses pembumian yang tidak pernah berhenti bergeser, berpindah, dan berubah.” Jika demikian, lokalitas dalam sastra, dapat dikatakan sebagai proses pemaknaan atas teks yang tersurat atau tersirat. Di sinilah imajinasi pembaca sangat menentukan proses pemaknaannya. Maka, tidak terhindarkan, makna teks, jadinya akan terus menggelinding, membengkak, dan memancarkan banyak hal yang dapat dicantelkan dengan realitas masa lalu, masa kini, atau masa depan yang mungkin bakal terjadi.

Pengertian lokalitas yang ingin ditekankan oleh Maman S Mahayana dalam sebuah karya sastra dapat dimengerti bukan pada teks semata. Dimana teks itu hanya menggambarkan adanya latar, bahasa dan penokohan secara fisik. Akan tetapi, lebih terhadap adanya sebuah teks yang di dalamnya terdapat nilai-nilai sosio-kultural dan mengandung sebuah ideologi masyakat tertentu. Satu lagi lanjutan kutipan langsung dari Maman S Mahayana, Secara temporal, lokalitas dalam sastra sesungguhnya dihadirkan oleh momen dan peristiwa tertentu. Muhammad Yamin, misalnya, dalam dua puisi awalnya, menyebut Sumatera—Andalas mula-mula sebagai tanah Melayu yang bahasanya digunakan sebagai lingua franca penduduk Nusantara. Sumatera ditempatkan sebagai titik berangkat tradisi yang melahirkannya. “Di mana Sumatera, di situ bangsa/Di mana perca, di sana bahasa// (“Bahasa, Bangsa”). Dalam puisi “Tanah Air”, Sumatera lebih tegas lagi dikatakan sebagai Tanah Air: “Itulah tanah, tanah airku/Sumatera namanya tumpah darahku//...  Sumatera sebagai lokalitas budaya, bagi Yamin tidak berhenti pada tanah Melayu. Juga kemudian disadari bukan sekadar tempat kelahiran: tumpah darahku. Dalam konteks itu, Tanah Air yang pada awalnya dimaknai sebagai tempat kelahiran yang tidak lain adalah Sumatera, memperoleh perluasan makna. Tumpah darahku dan Tanah Airku sebagai tempat kelahiran, tidak lagi jatuh pada Sumatera, melainkan Indonesia. Puisinya yang berjudul “Indonesia, Tumpah darahku” menunjukkan gagasan Yamin tentang lokalitas budaya yang melingkupi: wilayah, bangsa, dan bahasa. 

Lalu, sejak kapan sastra lokal itu ada? Kemudian setelah Indonesia terbentuk pada tahun 17 Agustus 1945, lahir pula yang namanya sastra modern Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah: sejak kapan sastra Indonesia ada? Dan kini apa yang terjadi dengan sastra lokal yang usut punya usut telah menguasai sastra nasional?. Untuk menjawab sisa pertanyaan yang saya ajukan ini, saya belum dapat menjawabnya. Jujur karena kekurangan literatur dan waktu untuk belajar. Ini ada perkenalan saya terhadap sastra lokal yang independen dan sastra lokal yang berada di tengan sastra nasional, katanya.

Yogyakarta, 2 Februari 2014 / 04:09 pagi.

Kesadaran Belajar Membaca Sastra Lokal Dalam Sastra Indonesia Modern Kesadaran Belajar Membaca Sastra Lokal Dalam Sastra Indonesia Modern Reviewed by Unknown on 10:38:00 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.