Kartu Pos dari Paris

Sumber Foto: www.pergidulu.com
Cerpen: Selendang Sulaiman

Petang itu, aku duduk di kursi di meja no 25. Posisinya pas di tengah dan tinggal meja itu yang kosong. Meja-meja yang lain dipenuh para lelaki. Di kursi mengahadap ke timur aku duduk. Dengan tersenyum kusapa mereka yang kukenal. Dan di teatrikal tubuhku seolah sedang menyelenggarakan opera cinta yang disadur dari cerpen karya Guy de Maupassant yang berjudul: Cinta Sejati.
Wawan memintaku duduk di sebelahnya di meja lain dengan isyarat mata dan anggukannya. Aku menggeleng dan balik memberi isyarat serupa. Dia pun pindah besama Fajri duduk di hadapanku. Fajri menyodorkan Koran yang terbit seminggu sekali, setiap hari jum’at.

“Ada puisi bagus di Koran ini,” ucapnya, nyengir.
Aku membaca puisi 4 judul di Koran yang intens dengan gairah model-model seksi dan cantik di halaman depan.
Opera Cinta Sejati sudah selesai di kedalamanku dan tidak kukabarkan pada sekelilingku yang sibuk dengan gosip kurang penting. Hingar dan bingar suasananya di café pribumi dengan slogan: selamatkan anak bangsa dari kukarangan kopi.
Meja-meja kusam itu memutar rekaman cerita tukang gosip sejak belasan tahun silam. Pelanggan setianya diceritakan menjadi tukang gosip di Jakarta. Mereka sekarang banyak berkicau di media sebagai anggota dewan. Sementara di meja-meja ini kini penerusnya juga belajar bergosip yang baik dan licik untuk mengantri jadi tukang gosip dan buruh gedongan di Senayan.
Secangkir kopi milikku tinggal setetes di bibirku. Aku terkejut dengan seleraku yang lekas menelan habis kopi secangkir. Seperti melenyapkan secangkir kopi luwak kental minuman khasku di Kalibata City Jakarta.  Karena selereku jatuh cinta dengan si pembuat kopi yang seksi dan si pelayan yang persis model-model hot di halaman depan Koran yang kubaca. Di kepalaku terbang ribuan burung-burung bersama angin petang yang membawanya pulang ke sarang dan bangau-bangau pulang penuh riang ke selatan.
Aku tersenyum-senyum sendiri sambil mengulum kepul asap bernikotin di mulut. Aku menunggu saat yang tepat untuk bercerita pada Wawan dan Fajri perihal kartu pos. Karena tatapan mereka bilang bahwa  aku sedih, oleh luka yang membuatku babak belur dan remuk enam bulan lalu. Padahal wajahku ceria tampak pada kilau dedak kopi dalam cangkir. Wawan dan Fajri masih menyebutku sedih oleh peristiwa 27 januari kemarin. Hari berduka atas kepergian “Maryam” si kucing betina piaraan teman-teman komunitas.
Maryam, tiba-tiba sering murung ketika itu setelah selesai nonton film Gloomy Sunday dan setiap kali dia bicara, hanya cerita-cerita kematian yang terjadi karena mendengarkan lagu Gloomy Sunday yang judul aslinya Szomorú Vasárnap (bahasa Hungaria) atau dalam bahasa Indonesianya: Minggu Yang Kelam.
Lagu itu dicipta pada tahun 1933 oleh seorang komposer dan pemain piano autodidak dari Budapest, Hungaria, bernama Rezso Seress. Lagu itu, lagu pengiring kematian pada masanya. Banyak yang menjadi korban bunuh diri karena seolah-olah terhipnotis setelah mendengar lagu tersebut. Rezso Seress  pun meninggal akibat bunuh diri pada tahun 1968. Dan Maryam mengikuti jejak Rezso pada tanggal 27 Januari 2013 di apartement Kalibata City Jakarta dengan racun tikus dan lagu Gloomy Sunday.
Di layar kenanganku si Maryam sudah kukubur bersama mayatnya yang dimakamkan di halaman rumah Maryam di Jogja. Dan Petang itu yang penuh berkah. Aku menyampaikan berita suka ria yang timbul di lingkupku pada si pengirim kartu pos di Paris penuh surprise sebagaimana aku terkejut oleh kartu posnya tadi pagi. Kartu pos yang berisi surat cinta dengan tulisan tangannya yang mungil di balik gambar menara Eiffel yang tampak dari sebuah loteng apartemen berlantai entah berapa. Eiffel yang disaksikan sepasang kucing bermesraan dengan mata indah penuh cahaya dari jarak yang tak dekat dan tak jauh.
Kartu pos itu kuterima dari teman serumah kontrakan. Temanku sangat senang memberikan-nya padaku. Dengan penuh rasa haru aku sudah mempersiapkan kalimat-kalimat sederhana yang setiap katanya berupa puji-pujian cinta dan rindu yang hidup.
***
Aku membuka facebook. Aku hafal di jam segini: petang itu, sang kekasih juga online. Tetapi tidak seperti biasanya, pada petang yang dipenuhi senyum kulumku itu, dia tidak menelponku untuk sekedar bilang, “Cheri, Online dong.” 
Tetapi, kami sama-sama online. Kami memiliki cinta dan merayakan rindu. Kami membuat bahagia sebagai orang Indonesia. Kami percaya tuhan-tuhan kecil dalam diri yang suka kucing. Kemudian chating-an untuk mencair-leburkan zat-zat rindu yang beku oleh angin di atas samudra yang memberikan jarak pada pelataran kota Jogja dan Kota Paris. Kemudian kukabarkan perihal penerimaan kartu pos itu dengan bahagia.
“Cheri, kukira kamu ga online hari ini. Suka kartu pos nya?” Aku terkejut dengan sapanya. Bagaimana dia bisa tahu jika kartu pos itu telah aku terima.
“Banget!” jawabku singkat dan seolah aku tak terkesan sama sekali dengan karto pos yang dikirimnya dari Paris.
“…(Peluk...) Aku mengirim kartu itu, bareng novelku ke penerbit.  Jadi, 2 minggu lalu kayak-nya.” Lanjutnya.
“7 juni 2013 tepatnya. Baru sampai kemaren petang. Dan  baru aku terima dari penghuni rumah kontrakan tadi pagi.”
“Surprise yaa? He-he…” Sanjungnya membuat aku diam sekedar memilah kata-kata yang tepat untuk mengabarkan keterkejutanku oleh kedatangan Kartu Pos darinya. Meski sebenarnya aku sudah meng-copas surat itu dan sudah kupasang di catatan facebook-ku. Dan meng-copas-nya lagi padanya. Sebab tiada kata-kata yang lebih indah untuk mewakilkan kebahagiaanku. Sudah tidak ada bahasa lagi selain kecupan bibirku di keningnya yang apel jawa.

LA POSTE     : 18906A
FRANCE    : 07-06-13

Buat Rifaie Ahmad
Jln Sukun Gg. Mawar No. 195, Karang Bendo, Banguntapan, Bantul, Indonesia 55198

apakah jarak harus menjadi tanda Tanya. lalu getaran hati itu semakin memadat.
meninggalkan yang tak terhapus dari relung yang paling dalam.
jiwa yang telah saling menatap akan menyimpan ceritanya sendiri
dari saat dan abad manapun ia. akan dibaca… seperti kita…

Paris, 7 Juni 2013

Dwi Intan Humaira
Nb: Aku, Kamu, 2 Kucing di atas atap

Tiba-tiba beban pikiran ditelan zat caffein di perutku yang ringkih. Sambil memasang isi kartu pos dari paris itu, aku tersipu di antara orang-orang yang hingar sendiri-sendiri. Aku men-join kopi si Fajri. Senyumnya sekental dedak kopi luwak seharga 125 ribu yang dibikin oleh perawan seksi. “Aku bahagia dadakan tadi pagi. Peluk cheri...”
“I love you. Tadi pas nelphone ga ngomong. Bagaimanapun ga ada yang bisa menggantikan rasa menerima surat di tangan. Memikirkan bahwa amplop itu telah terbang ribuan kilometer, dari tangan satu ke tangan lainnya untuk sampai padamu.” Aku menerima getar kebahagian lain dari paris yang kuterima lewat kalimat-kalimatnya yang santun dan lembut.
“Iya sayang. Ada puluhan tangan yang menyentuhnya. Ia akan bergetar dadanya. Sebab di tangannya sedang membara rasa rindu oleh cinta yang sebentar terpisah. Itu adalah kebahagiaan yang entah sudah keberapa kau berikan padaku.” Balasku penuh syahdu.
“Aku bahagia memberi karena aku tahu kamu bahagia ketika menerima.”
“Terima kasih cheri. Ingin kukecup keningmu sampai kau jamah setiap kata cinta dari nafasku. Yang setiap hirupannya ada kehangatan kemurnian cinta darimu.”
“Bahagia menjadi sesuatu yang begitu mudah bersamamu.” Tukasnya, entah bagaimana senyumnya katika itu. Aku sungguh tak dapat membayangkan kunang-kunang petang berkedipan di wajahnya. Fantasiku kembali ke masa kanak, dimana hamparan padi menguning dihias oleh hijau kecil-kecil sinar di tubuh kekunang musim cinta para petani.
“Sebagaimana rasa sedih yang tiba-tiba hadir memelukmu karenaku. Begitulah cinta meng-ada. Tetapi karena kesedihan itu ada, kebahagiaan menjadi nyata. Ialah kita”
“Waktu menerimanya, langsung tahu dari aku-kah?” Pacarku bertanya dengan segenap harapan di dada muda-mudi yang mempertanyakan perasaan pasangan yang dikasihinya.  Sebagaimana seorang lelaki muda yang ingin romantis di hadapan perempuannya, aku menjawab.
“Iya sayang. Begini ceritanya: Pagi-pagi entah kenapa aku tiba-tiba ngetuk pintu kamar Jhody. Dia buka pintu dan dia bilang, “ada surat buat kamu.” “Dari siapa?” tanyaku. “Perancis,” jawabnya sambil memberikannya padaku. "Itu seperti sudah direncakan untuk sampai padamu," lajutnya. Aku sedikit kurang paham dan bertanya, “maksudnya Jhod?” Sambil bergetar hatiku tidak sabar ingin membukanya…”
“Terus?” Pacarku penasaran akan ceritaku.
"…. “Kemaren pas kamu keluar kontrakan aku bergegas pergi beli makan. Tanpa sadar aku tak bawa uang. Sampai di jalan aku ingat bahwa uangku ketinggalan. Aku balik mengambilnya…” Si Jhody bercerita dan aku mencoba memahaminya dan kemudian menyela, “terus hubungannya dengan surat ini yang katamu sudah direncanakan apa Jhod?.” Jhody tertawa tipis oleh pertanyaanku dan melanjutkan ceritanya, "… setelah nyampek pintu garasi, tiba-tiba ada orang menanyakanmu, “saudara Selendang?” Spontan kujawab, “bukan! Tapi Selendang benar tinggal di rumah ini,” Jhody menjelaskan dengan rasa senang yang kulihat dari suaranya dan senyumnya yang dibingkai jenggot tampan di dagunya…”
Pacarku tersenyum menimpali ceritaku. Entah apa yang menghinggapi pikiran dan perasaannya. Yang sampai padaku petang itu adalah kebahagiaan. Tentu dia lebih paham bagaimana cara membahagiakan dirinya sebagaimana dia bahagiakan aku.
“… Di matanya aku melihat ketulusan bercerita tentang bagaimana rencana surat itu akan sampai padaku... "Lalu?’ Tanyaku pada Jhody. Dan diapun menjawab bertubi-tubi, “seandainya aku tidak ketinggalan duit, mungkin surat ini akan ditaruh sembarangan sama pak pos itu. Seperti biasanya, jika kontrakan sedang tak ada orang. Surat-surat yang masuk kesini dilempar ke dalam ruangan sembarangan.” Mendengar penjelasannya aku terpicu untuk menebaknya, “jadi maksudmu itu, Tuhan yang telah merencanakan-nya!” Jhody tersenyum dan berkata. “Begitulah kiranya, bila Tuhan berkehendak. Foto ya isinya...?” Begitulah kesimpulan Jhody atas perihal surat itu sampai padaku. Ada campur tangan Tuhan segala baginya. Sebagaimana namamu yang berati Berkat atau Cinta.”
“Duuuh… Terima surat saja kayak cerita konspirasi. Aku seharian waktu itu muterin toko yang jualan kartu pos. Memilih gambar yang Paris tapi ngga terlalu turistik. Sebenernya aku sudah melewati gambar itu beberapa kali dan aku tahu aku akan memilihnya. Tapi rasanya seperti ngga puas kalau belum nge-lihat semuanya. Tapi semua metafora itu dapat di kartu itu. Jiwa dua kucing yang bersama di atas atap, memandang dunia saling menemani dan saling bercerita.”
“Iya cheri. Aku suka kalimat, sebagai NB: aku, kamu, 2 kucing di atas atap. Seperti lagu lama: Bulan madu di awan biru.”
“Kalau isinya sendiri itu spontan banget, hanya dua menit aku tulis sebelum berangkat ke kantor pos.”
“Tapi kemesraan ada dalam kita. Cinta kita.”
“Aku dari minggu kemaren sebenernya menghitung kapan surat itu sampai. Soalnya pernah kirim kartu lebaran 5 hari sampe. Tapi kan ngga lucu jika aku tanya kamu: suratku uda sampe belum?. Merusak surprise itu namanya.”
“Iya benar. Aku sekarang percaya dan yakin dengan statementnya Guy de Maupassant bahwa: Hanya perempuanlah yang tahu cara mencintai. Dan membuat kebahagiaan bagi kekasihnya.”
“Ah engga 100% buktinya kamu tahu cara membuatku bahagia.”
“Karena kita sama memiliki cinta yang serupa.”
“Aku mau nonton Before Midnight. Terusannya Before Sunrise  dan Before Sunset.”
“Mau ikut. Aku Ikut pokoknya. Ga mau aku ditinggalin.”
“Yang mau ninggalin siapa? Coba kasih tahu!”
“Tak ada, cuma takut ditinggl sama pacarku yang selalu cantik.”
“Masak? cantik?”
“Tentu. Aku menemukannya dalam keadaan cantik (yang bukan luka dalam judul novel itu). Aku selalu nunjukin foto kita di hp-ku sama teman-teman yang ingin tahu kamu. Diam-diam aku, aku bilang dalam hati; pacarku cantik kan. Aku beruntung kan ketemu dia.”
“Serius nih aku senyum-senyum sendiri.”
“Entar dikira kesurupan lho kalau kelihatan orang lain.”
“Untungnya di depanku cuma ada bayanganmu. Dan laptop serta sisa bayangan keindahan pemandangan Macchu Picchu dimana ada banyak peninggalan kehebatan suku Inca.”
“Apa?”
“Kamu terkejut, sayang…? Aku selama ini di Peru tidak di Paris. Sejak akhir bulan Mei. Kamu lupa ya, jika aku akan ke Peru untuk tugas-tugas kantorku. Kamu sendiri kan yang mengantarku ke Bandara. Ketika itu kamu menulis puisi pendek di tissue terkhir untukku. Ini masih aku simpan dan selalu berkata ‘cinta sejati’ padaku dan di akhir puisi itu, kau tulis tanda: Soekarno-Hatta, 27 Mei 2013. Kamu bego ya, surat-suratan sama selingkuhanmu kau ceritakan padaku tanpa perasaan bersalah. Malahan kau anggap aku ini selingkuhanmu yang gadis Paris itu. Sengaja aku layani cerita busukmu dari tadi, biar aku tahu sampai ke akar-akarnya tentang prilaku suamiku sendiri di belakangku ketika aku pergi.”
“Apa? Tidak! Itu tidak benar, sayang…”
Ada apa denganku petang itu. Orang-orang sedang memperhatikanmu tanpa berkedip. Warung kopi pribumi menjadi suram di mataku. Dan aku merasa telah kehilangan cinta dan kebahagiaan. Orang-orang tanpa rasa iba mendiamiku sendiri di depan laptop sendirian di pojok warung kopi, menghadapi Istriku yang merah besar di Peru.
Murkanya membisukan mulutku. Pikiranku beku dan rindu seolah membatu setelah istriku meg-copas puisi yang kurim 2 hari setelah keberangkatannya ke Peru:
aku sendiri di jogja sebagai pecandu kopi
kamu sendiri di peru sebagai pelancong sejati
kita dimana-mana sebagai cahaya cinta yang murni
bergandengan tangan dan bercinta dalam diri
   

Yogyakarta, 30 Juni 2013




Kartu Pos dari Paris Kartu Pos dari Paris Reviewed by Unknown on 12:54:00 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.