Contoh Surat Keabadian - Surat Dua

Oleh: Selendang Sulaiman

Sejak kealpaan menghitamkan hatiku di lingkaran kefanaan dunia ini. Aku lupa caranya menemuimu dengan santun bahkan hampir tak mengerti lagi hakikat sekian ungkapan biar bisa aku bicara sopan denganmu. Kemudian peristiwa mengerikan terjadi di seperempat malam. Kita tak sanggup mencipta lelap. Hingga pagi menggambar kedua kelopakmu lebam oleh sesungguk tangis sesal. Sedang tubuhku mendingin di kamar yang tak terbekahi janji. Aku menjadi malas keluar untuk menyapa terbitnya matahari. Sekedar sedikit mengintipmu yang duduk dengan kekosongan penuh sesalnya pertemuan di bibir pintu sembari makan roti kacang rasa nanas alas dengan malas mungkin juga terpaksa.


Aku lupa di menit keberapa aku tertidur dan masuk ke dalam gelap mimpi yang membiarkanmu pergi dengan sisa lebam di kedua kelopakmu.  Tanpa sadar, kesendirian melemparkanku dari kelelakianku yang binal. Aku rapuh dalam lenguhan panjang di lubukku. Adakah suara yang kau dengar dari ketersiksaan pikir dan rasaku.

Berjam-jam aku bertahan dari kemuakan dan mual yang menerjang ususku. Udara menyesakkanku. Potretmu yang tergores kecup-ciumku menjelma lukisan trauma dan melankolis di batinku. Lagi, aku menerimanya sebagai cengkraman tangan iblis yang mengebiri sisa cinta yang tak hatam didoakan. Apa keningmu masih seterang hari kemarin, dimana rindu mengantarmu padaku yang lebih rindu dari puisi dan prosa-prosa kerinduan milik para penyair, pemusik dan mistikus cinta.

Kembalilah wahai engkau kecantikan langit dan bumi yang merekahkan bunga-bunga ladang dan hutan. Cipratan sinar yang menciptakan riak-riak cahaya di permukaan lautan samudra, dimana ikan-ikan saling memuji keindahan satu sama lain. Lihatlah cakrawala yang selalu membentangkan dada bidangnya, ia menuliskan maknamu dan tak sampai aku pahami. Kembalikanlah perempuan santun dan kebijaksanaan matanya memandang dunia penuh makna.

Kini telah kupilihkan sepasang soneta cinta buatmu. Sebab setiap puja-puji yang lahir dariku jua berupa api yang terasa akan membakarmu. Aku tak ingin kau terbakar oleh setiap sanjunganku. Sunguh. Semoga sepasang soneta yang kucinta dapat menggirangkan hatimu yang pedih oleh irisan belati keburukanku.

Soneta 34 (Sore)

Kaulah anak kandung laut itu, sepupu pertama daun rica
seperti perenang, tubuhmu bening seperti air;
matang, darahmu liat seperti tanah.
Apa pun yang kau lakukan selalu penuh bunga, berlimpah bumi

Matamu menerawang ke arah air, gelombang-gelombang pun memuncak;
Tanganmu merengkuh tanah, pasir-pasir pun menggeliat;
Kau mengerti hakikat air dan Bumi
Berpadu dalam dirimu seperti corak tanah liat.

Peri, cacahlah tubuhmu hingga berkeping biru-kehijauan
Ia pasti berbunga dan lahir kembali di dapur.
Itu karena kau menjadi segala-sesuatu yang hidup.

Hingga akhirnya, kau tertidur,  di lingkar lenganku
mendorong kembali bayangan yang kau nikmati-
sayur, rumput laut, herba: menyabun mimpi-mimpimu


Soneta 79 (Malam)

Pada malam, cinta, mengikat hatimu denganku, berdua
bersama tidur mengalahkan gelap
seperti sepasang gendang di tengah rimba, mengetuk
dinding tebal daun-daun basah.

Malam tetirah: nyala gelap dalam lelap
menggunting ulir-ulir anggur tanah
kereta pun tunggang-langgang mengangkut senja
dan batu-batu dingin, tanpa akhir.

Karenanyalah, cinta, mengikatku dengan gerak tersuci ini
terus berusaha menaklukkan dadamu
dengan sayap-sayap angsa bawah air.

Hingga, akhirnya nyenyak kita mungkin menjawab
seluruh pertanyaan rahasia bintang di langit
termasuk daun pintu yang lamat-lamat tertutup.

dari buku Pablo Neruda,”100 Love Sonnets” Seratus Soneta Cinta: Ciuman Hujan.

Sebab tak ada yang dapat pergi sendirian tanpa masa silam. Maka kubiarkan ia datang sebagai bayangan sendiri yang pernah hidup di silam. Masa silam yang bukan hari ini dan tentu ridak untuk masa depan. Kendati aku mengerti, jika “kemaren dan esok adalah hari ini” kata si Burung Merak Kekasih dalam kepenyairanku. Tetapi, ia juga mengatakan “masing-masing pihak punya cita-cita/masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata.” Bukankan dia senantiasa membebaskan dirinya, ruh dan jiwanya. Maka kebebasanku adalah kebebasan berpikir dan menentukan masa depanku. Seperti masa silam yang kutentukan dulu, sehingga aku tak akan pernah menyesal karenanya. Hari ini adalah hari ini yang aku jalani. Bukan surat-surat ini, yang hanya masa silam. Maka hiduplah aku, dulu, kini dan kelak. Semoga sampai di keabadian.

Wassalam, yogyakarta di masa silamku.

Contoh Surat Keabadian - Surat Dua Contoh Surat Keabadian - Surat Dua Reviewed by Unknown on 1:12:00 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.