https://twitter.com/wsrendra_ |
(Pengatar Diskusi rutin Komunitas Rudal sabtu 18 mei 2013 jam: 15:00)
Kesadaran adalah matahari,
kesabaran adalah bumi,
keberanian menjadi cakrawala
dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
Sewaktu saya di Sekolah Menengah Atas, saya tersanjung dengan
penggalan bait sajak W.S Rendra yang berjudul “Paman Doblang” yang saya
tulis di awal tulisan ini. Perkenalan saya dengan nama W.S Rendra dari
sebuah cerita seseorang yang beberapa pernah berkunjung ke Bengtkel
Teater Rendra di Depok. Dia bercerita banyak tentang Bengkel Teater dan
Sosok Rendra di mata dia. Sejak itulah saya memiliki keinginan untuk
melanjutkan proses saya ke Bengkel Teater dan penggalan bait Sajak
Paman Doblang tersebut yang menunutun keyakinan saya untuk sampai ke
bengkel Teater dan belajar kepada W.S. Rendra.
Kemudian saya sadar bahwa “masing-masing pihak punya cita-cita dan
masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata”. Akhirnya saya harus
memilih untuk menunaikan kewajiban terhadap keluarga dengan mengikuti
kehendaknya melanjutkan study ke Yogyakarta. Maka, bengkel teater dan
berguru kepada W.S Rendra hanya menjadi cita-cita yang selesai dalam
cerita dan dalam segenap pengahrapan. Biarpun demikian, saya masih bisa
belajar dari sajak-sajaknya yang dibacakan, dipanggungkan dan
didiskusikan.
W.S. Rendra saya kenali pelan-pelan dari karya-karyanya, saya pahami dari
sosoknya yang muncul ketika membaca puisi, dan saya pikirkan ketika
proses kepenyairannya serta sajak-sajaknya menjadi bahan diskusi di
komunitas. Saya ingat waktu itu, di tahun 2009, W.S Rendra dibaca dari sisi
posisinya diatara pelemik kebudayaan Lekra dan Manikebu yang dibahas
dalam agenda diskusi minggu Masyarakat Bawah pohon. Ketika itu saya
mulai berpikir lebih jauh tentang Rendra dan saya menuliskan beberapa
pertanyaan terkait posisinya di Lekra dan Manikebu. Pertanyaan masih
menjadi pertanyaan dalam buku harian saya. Sampai akhirnya, terdengar
kabar bahwa W.S Rendra meninggalkan bangsa dan tanah air ini. Dan
semua orang yang pernah mengenalnya dengan dekat mengenangnya.
Pengalaman demi pengalaman selanjutnya, setelah saya merasa bahwa
pertemuan dengan W.S. Rendra tidak mungkin terjadi, maka saya mencoba
lebih akrba lagi dengan sajak-sajaknya di atas panggung. “Doa di Jakarta”,
“Sajak Pertermuan Mahasiswa”, “Sajak Sebatang Lisong” dan “Hai Ma!”
menjadi teman saya di panggung dan setiap kali membacanyam saya
merasakan kehadirannya. Dari sajak “Paman Doblang” dan beberapa sajak
yang sering bacakan mengantarkan saya untuk memahami kerya-karyanya
yang lain.
W.S Rendra dilahirkan di kampung jeyengan, solo pada hari kamis, 7
November 1935 pukul 5.05 petang dalam keluarga dan lingkungan Katolik
yang teguh dengan nama lengkap Willibrordus Surendra Bawana Rendra
yang disingkat menjadi W.S. Rendra. Dengan seorang ibu bernama Raden
Ayu Catharina Ismadillah (seorang penari serimpi di Keraton Surakarta) dan
seorang Bapak bernama Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo, guru
bahasa Indonesia dan bahasa Jawa di SD/SMP Katolik Kanisius, Solo, di
samping sebagai dramawan tradisonal Jawa.
W.S. Rendra menyelesaikan pendidikan SD, SMP, SMA Katolik St. Yosef,
Solo. WS Rendra petama kali mempublikasikan puisinya di media massa
pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya banyak
menghiasi berbagai majalah, seperti, Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan
Siasat Baru. Ketika itu usianya terbilang masih muda, akan tetapi karena
ketekunanannya dalam belajar dan membaca karya-karya sastra koleksi
milik Ayahnya, bisa menulis dengan baik.
Beberapa karyanya yang dimuat di tahun 50-an tersebut melahirkan satu
antologi puisi yang terkenal dan menjadi pembahasan dalam kesustraan
Indonesia pada masa itu yaitu “Balada Orang-Orang Tercinta (1957)”. Hal itu
terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade
selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an yang kemudian
melahirkan dua antologi lagi, pertama “Empat Kumpulan Sajak (1961)” dan
“Blues Untuk Bonnie (1971)”.
Selain menulis puisi atau sajak, Rendra juga menulis naskah Drama yang
dipentaskannya sendiri. Sejak di bangku SMP dia telah menuslis naskah
drama, yang pertama adalah “Kaki Palsu” dan dipentaskan. Setelah
memsuki Sekolah Lanjutan Atas dia melahirkan naskah Drama yang berjudul
“Orang-Orang di Tikungan Jalan”, yang kemudian diterbitkan serta menjadi
drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari
Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta.
Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya di samping
sajak-sajak-sajaknya yang digandrungi oleh orang banya orang.
Kemudian gairahnya untuk berkesenian dan mengasah bakat di dalam
bidang tersebut dilanjutkan saat kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan
Universitas Gadjah Mada. Pada saat itu cerpennya disiarkan di majalah
seperti Mimbar Indonesia, Basis, Budaya Jaya dan Siasat. Kamudian karena
beberapa persoalan yang muncul dalam diri Rendra, dia memutuskan untuk
keluar dari UGM dan pindah ke American Academy of Dramatical Art, New
York, Amerika Syarikat jalur beasiswa. Sekembalinya dari Amerika pada
tahun 1967, jejaka yang tinggi semampai dan berambut panjang itu
mendirikan bengkel teater di Yogyakarta yang kemudian menjadi cikal bakal
lahirnya teater modern di Indonesia.
Pada tahun 70-an W.S. Rendra mengeluarkan karya-karyanya derkenal
dengan Sajak-Sajak sepatu tua-nya. Dami. N. Toda mengatakan bahwa
sajak-sajak W.S. Rendra pada waktu itu menampakkan wajah getir,
mengadu keras, membela dan akhirnya mendakwa dengan berang dan
agresif. Sikap penyair tak berubah, sama dengan batin Sajak “Masmur
Mawar”, “Sajak-sajak Jalan Raya” atau “Sajak-sajak Sepatu Tua”, yakni
memihak pada kemanusiaan yang terlantar, borokan, miskin, tersingkir dari
dunia yang kejam dan angkuh. Penyar mendasarkan pembelaannya pada
kesadaran dan keyakinan moral yang luhur, bahwa Tuhan adalah teman para
papa dan terhina, bersama kejujuran dan kemurnian hati.
Pandangan Dami. N. Toda tersebut menunjukkan bahwa karya-karya W.S
Rendra mengandung nilai-nilai keagamaan yang sangat kental. Dimana pada
akhir tahun 60-an dan awal tahun 70-an merupaka masa-masa transisi dalam
kehidupan W.S Rendra mencari kebenaran Tuhan yang sejati. Pada
akhirnya, Islam menjadi agama yang memberikan makna hidup yang
seutuhnya bagi W.S Rendra. Hal tersebut banyak tercermin dalam karya-
karyanya sesudahnya. Dalam hal ini, secara tegas A. Teeuw mengatakan
bahwa jejak-jejak puisi sufi di Indonesia pada abad ke-20 tampak pada
karya-karya Goenawan Moehammad, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi
W.M, dan Rendra.
Secara khusus, Teeuw memberi komentar terhadap karya Rendra dengan
mengatakan bahwa karya-karya Rendra memperlihatkan hubungan langsung
dengan tradisi mistik jawa. Dalam banyak hal, karya-karya Rendra
memperlihatkan bahwa persatuan sejati dengan Tuhan merupakan tujuan
akhir hidup manusia. Hal itu bisa dicapai melalui kesadaran diri di tenga-
tengah sesama makhluk Tuhan seluruhnya. Teeuw juga menyatakan, di
dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), bahwa dalam sejarah
kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu
angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau
Angkatan 70-an Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai
kepribadian dan kebebasan sendiri.
Pandangan lebih lanjut dikemukakan oleh Siti Chamamah Soeratno bahwa
W.S. Rendra merupakan seorang seniman, penyair, dramawan, esais, tokoh
emansipasi kemanusiaan, dan orang besar yang telah mengisi hidupnya
untuk mewarnai kehidupan banyak orang demi memberikan kesadaran
kolektif masyarakat dalam proses transformasi bangsa dan negara. Hal
tersebut berdampak besar terhadap apresiasi dan antusiasme masyarakat
pecinta budaya Ins\donesia, khususnya melewati karya-karya puisi dan
drama serta esai-esainya, untuk lebih meningkatkan kreasi budayanya
dalam bidang kehidupan. Pandangan ini dapat ditelusuri dari karya-karya
Rendra baik berupa sajak, naskah drama/teater dan pidato-pidatonya.
Seperti padi, semakin berisi semakin merunduk. Seorang W.S. Rendra
mengalami perkembangan jiwa. Saat ini tidak ada lagi seorang W.S. Rendra
yang "liar". Namun, keberaniannya dalam mencipta sebuah karya masih
tetap melekat kuat dalam dirinya. Kedalaman jiwanya dan perenungan-
perenungannya semakin terasah tajam. Bentuk-bentuk komunikasi
transenden sebagai perpektif dalam mengkritisi dan merenungi gejala alam
membuat karya-karya Rendra terasa religius. Proses melihat, merasa, dan
menggambarkan setiap gejala alam selalu diawali dengan proses Illahiyah
terlebih dahulu sehingga menghasilkan suatu karya yang tajam, peka, dan
benar-benar menyentuh lapisan bawah. Pengasahan-pengasahan yang
terus-menerus dengan melalui banyak media membuat dirinya semakin
dekat dan membuat dirinya menjadi hamba Tuhan yang terbaik.
Demikianlah pengalaman saya dalam memasuki sajak-sajak W.S. Rendra
dan dunianya yang tentu tidak secara keseluruhan dapat saya masuki. Ada
banyak sisi yang mesti kita baca dan kita amalkan dari karya-karya W.S
Rendra. Baik karyanya yang bernuansakan humaniora, idealismenya dalam
menyuarakan kenyataan keseharian dalam balutan bahasa-bahasa
"kemanusiaan", seperti keadilan sosial, kemelaratan, dan kepicikan adalah
suatu proses yang tidak terhenti darinya. Hal tersebut menjadikan karya-
karyanya diterima masyarakat luas, universal, baik di Indonesia maupun di
dunia.
Rasanya, saya juga mesti menyebutnya si “Burung Merak” sebagai bentuk
penghormatan kepada sang Penyair Abadi yang dimiliki Republik Indonesia
ini, ialah W.S Rendra. Untuk itu saya ingin menulis pesannya saja dari pada
sajak-sajaknya:
"Saya sedikit heran, mengapa anak-anak muda sekarang hanya menguasai
permainan kata-kata saja? Tidak begitu dalam membuat syair atau puisi.
Seorang penyair yang baik itu harus bisa membersihkan qolbu agar bisa
menggambarkan suatu kenyataan. Dalam membuat suatu karya sastra,
puisi atau sajak, jika terlalu menitik beratkan pada permainan kata-kata,
secara tidak langsung telah melakukan bahasa yang korup. Jadi, tidak
hanya pemerintah atau pejabat yang dapat dikatakan "korup", sastrawan dan
penyair pun juga demikian."
Hanya demikian, terima kasih
Yogyakarta, 05-05-2012
Biografi Pemikiran: Rendra adalah Rendra
Reviewed by Unknown
on
10:51:00 PM
Rating:
No comments: