Penyair Kampus Perlawanan Kembali Bermunculan

Koleksi Pribadi
Oleh Selendang Sulaiman

(dulu sekali...)
 Kepenyairan sastra kampus di kampus putih kampus perlawanan (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) mulai bermunculan kembali para generasi baru. Kahadirannya ditandai dengan acara Malam Sastra dengan Tema “Pecinta Seni dan Sastra Membangun Bangsa” yang di adakan oleh para pemuda-pemuda kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Fakultas Sosial dan Humaniora dari angkatan termudanya yang berproses dalam Korp ARIMAJA.

Malam Sastra (Persembahan Perdana) merupakan acara khusus bagi para kader-kader PMII Sekomisariat Kampus Perlawanan, Wa-bilkhusus untuk sahabat-sahabat Korp Arimaja, yang selama perjalanannya berproses, hanya bertemu dengan pengalaman di forum-forum diskusi, seminar, dan moment politik. “Acara Malam Sastra ini lahir dari sebuah kegelisahan sahabat-sahabati Korp Arimaja. Selama ini kami hanya disodori forum diskusi, seminar, dan sedikit-dikitnya intrik politik. Oleh sebabnya, untuk membangkitkan semangat sahabat-sahabat dalam dunia pergerakan ini (di tubuh Korp Arimaja), dengan acara-acara yang sifatnya ceremonial, menghibur, dan kreatif. Dan menurut kami acara seperti inilah yang kreatif dan memancing semangat sahabat-sahabat” ujar ketua Korp Arimaja yang sekaligus jadi Pembawa Acara pada Malam Sastra itu.
“Lagipula diantara kami, lumayan banyak yang memiliki skill dan minat di bidang sastra jadi sayang kalau tidak difasilitasi. Apalagi, yang saya tahu di tubuh Pergerakan ini begitu banyak yang sudah menjadi Penyair, Sastrawan, Seniman, dll” tambahnya sebelum kemudian beranjak ke podium untuk membuka acara.
Benar memang apa yang dikatakan Mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy bahwa, jika politik bengkok maka sastra yang akan meluruskannya. Itulah barangkali yang menjadi api spirit untuk menggalakkan acara-acara yang berbau sastra. Selain adanya faktor intern yaitu meletusnya atmosfir intrik politik yang tidak sehat dan lahirnya perpecahan di tubuh pergerakan tersebut. Jadi sudah menjadi keniscayaan hadirnya acara Malam Sastra yang diadakan di lingkungan Kampus Perlawanan tapatnya di parkiran terpadu bagian selatan pada Jum’at, 25 maret 2011 pukul 19:00 yang selesai sampai pukul 23:58 WIB.
Acara tersebut dikemas dengan amat sederhana dan perlengkapan yang begitu minimalis. Panggungnya dibuat datar beralas tikar tanpa podium, werles dengan dua sound system, dua kursi (persediaan untuk musikalisasi puisi), dan dua lampu penerang yang mencorong ke badan para Pementas; satu di pojok atas kanan dengan warna putih kekuningan dan satu dengan warna hijau terletak di pojok bawah kiri. Tetapi suasana panggung tidak mengurangi rasa kebersamaan pengunjung dan kesakralan moment puitik di dalamnya, tetap berkesan kreatif dan Istimewa.
Dengan musikalisasi puisi dan satu lirik lagu karya sahabat-sahabat Korp Arimaja, acara dimulai dengan tepuk tangan meriah oleh para hadirin yang terdiri dari Aktivis, Politisi Kampus, Penyair, Cerpenis, dan dari Dewan Eksekutif Mahasiswa (Presiden Mahasiswa). Moment seperti inilah yang harus selalu hidup di lingkungan kampus putih kampus perlawanan ini. Demi terwujudnya harmonisasi antara mahasiswa dengan mahasiswa yang lain dan serta untuk meminimalisir suasana politik yang tidak menyehatkan itu.
“Harus kukemankan rindu ini, ketika rakyat mulai menunggu datangnya maharani” sebuah slogan yang tertulis pada pamphlet yang disebar ke sebagian mahasiswa dan ditempel-tempel di papan pengumuman kampus bahkan di warung kopi. Slogan yang boleh dimaknai sebuah kerinduan pada situasi yang nyaman tanpa intrik atau itulah sebuah kegelisahan terhadap keadaan yang memaksa untuk berperan dalam intrik-intrikan yang melahirkan perpecahan. Maka, Sastra-lah salah satu jawabannya untuk kembali bergandeng tangan bersama menuju masyarakat Kampus Putih Kampus Perlawanan yang lebih damai dan tentram.
Berawal dari Puisi berjudul “Ibu” karya penyair dari ujung timur pulau Madura “D. Zawawi Imron”, Lutfie (nama panggilan) membacakannya di awal acara dengan suara lantang dan semangat menggebu-gebu. Kemudian dilanjutkan oleh seorang sahabat bernama Pekik, membacakan Puisi karya sang Pelopor angkatan ’45 “Chairil Anwar” yang berjudul “Aku”. Malam yang dingin oleh rintik yang tak berkesudahan sejak sore tak terasa setelah Pekik mendeklamasikannya dengan suara keras, pikiran melayang ke masa awal kemerdekaan.
Giliran Hasan Ma’ali (Penyair yang sudah banyak menerima penghargaan sejak Sekolah Menengan Atas) membacakan Puisinya di depan, sorak sorai dan tepuk tangan beriringan bersambut menambah kehangatan. Kebersamaan kian terasa mendengar bait-bait romantis dalam puisi cinta dan kerinduan yang dibacakannya dengan penuh penghayatan. Cinta dan rindu bahkan perempuan tidak bisa dilepaskan dari imajinasi lelaki yang menulis karya sastra, seolah telah melekat sebagai bumbu penyedap rasa dalam puisi.
Saat ini dimana moment politik di kampus perlawanan baru saja rampung. Maka perlu adanya semangat yang tulus itu dihadirkan kembali tanpa embel-embel euphoria kekuasaan. Hal inilah yang menjadi motivasi bagi teaterawan perempuan yang aktif sebagai sutradara di Unit Kegiatan Mahasiswa UKM Teater SK, Nazil panggilannya, dia membawakan puisi karya Chairil Anwar yang berjudul Kerawang Bekasi. Seperti dalam prolognya, ia mengatakan bahwa untuk mengenang para pahlawan dan untuk tidak melupakan sejarah, semangat perjuangan haruslah dibakar dengan semangat yang menyala di tubuh para penyair di zaman kemerdekaan.
Selanjutnya sebagai penyejuk hati, Winda Larasati Ibrahim, Penyair perempuan di Komunitas Matapena membacakan puisi sederhana tentang hikmah dan pentingnya mengumbar senyum dalam kehidupan. Tepuk tangan kembali mengisi suasana setelah penyair berselendang jarik kecoklatan dipanggil untuk pembaca setelah Winda, yaitu Selendang Sulaiman. Dengan gayanya yang terobsesi pada penyair angkatan 60-an (W.S. Rendra atau Si Burung Merak), ia mengawali pembacaan puisinya dengan sajak cinta karya Rendra, “Hai Ma” dilanjutkan dengan karyanya sendiri yang berjudul; Kerudung Merah Warna_demi gadis bermata sadis, kemudian ditutup dengan kalimat bahasa; Ibu aku merindukanmu namun tidak merindukan rumah. Sebab telah kutemukan tujuan dalam hidupku kini_Che Guevara.
Uniknya, ditengah-tengah pembacaan puisi, pembawa acara mempersilahkan ketua PMII Komisariat UIN Sunan Kalijaga untuk memberikan sambutan terkait dilaksanakannya acara malam sastra tersebut. Dimana dalam organisasi pergerakan tersebut terdapat lokus yang mewadahi para seniman dan sastrawan yaitu sanggar jepit yang selama ini dalam keadaan tak hidup tak mati. Dia begitu apresiat dengan terselenggaranya acara Malam Sastra yang dihadiri beberapa penyair yang aktif di pergerakan. Dalam sambutannya, ia berharap besar bagaimana sastra dan kepenyairan di kampus putih kampus perlawanan ini kembali bangkit dan menjadi gerbang perlawanan yang sejati untuk menumpas ketidak adilan di tubuh birokrasi kampus.
Malam sastra yang benar-benar istimewa, para seniman dan sastrawan yang hadir tidak hanya dari kalangan aktivis gerakan. Dari luar organisasi dan luar kampus ikut hadir untuk bersama-sama menggalakkan kembali kepenyairan dan kesusastraan di linggkungan kampus. Dalam hal ini, hadir seorang penyair perempuan bernama Mautia Sukma dari Universitas Negeri Yogyakarta, dia membacakan dua buah puisi yang terantologi dalam temu sastra II di Bangka Belitung. Kemudian dilanjutkan oleh penyair Ridho dari Teater SK dan disusul oleh Febrian Danastri seorang sastrawati yang aktif di Komunitas Bawah Pohon, dengan puisi rindu asmara yang diawali dengan puisinya Sutardji Colsum Bahri yang berjudul “O”.
Malam semakin larut hujan rintik masih bergemirisik di atas genting. Namun rasa lelah dan kantuk seolah tersihir oleh puisi-puisi yang disenandungkan oleh para penyairnya. Apalagi setelah Jufri Zaituna Penyair dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang berdomisili di PPM Hasyim Asy’ari membacakan puisinya yang berjudul Kapak Tardji, suasana acara seolah baru dimulai beberapa menit yang lalu. Lagi-lagi, puisi dengan nada lantang membahana mengisi forum setelah Kacong Sulaiman membacakan puisi Frans Nadjira tentang kepemimpinan dan diakhiri dengan puisi Ibu karya Pak D. kemudian diteruskan dengan acara musikalisasi puisi sebagai jeda dan penghibur penonton dan hadirin terundang yang jumlahnya seratusan orang.
Tak kalah menggebu-gebu, puisi yang dibaca oleh sang penyair yang memiliki nama pena “Alaroa”, lantang suaranya seperti menembus-nembus langit dan menerobos hujan rintik. Hingga rasa dingin menjelma kehangatan. Menjelang akhir acara, tiba-tiba seorang sahabat muncul untuk membaca puisi lewat SMS pada Pembawa Acara untuk dialokasikan waktu untuknya, dengan puisi lisan berisi kritik pada penguasa di kampus putih kampus perlawanan ia berteriak-teriak meluapkan kritik dan kemarahannya lewat bait-bait puisi spontanitasnya pada sang penguasa. Dan sebagai penawar ketegangan maka dihadirkanlah sanggar Villa untuk menyanyikan puisi dengan iringan music harmonica. Maka sempurna dan rampunglah acara Malam Sastra perdana tersebut setelah ditutup dengan pembacaan oleh ketua PMII Rayon Fakultas Sosial Humaniora.
Acara sastralah yang sebenarnya dirindukan banyak orang di kalangan mahasiswa. Sebagaiman pada masa awal-awal, betapa begitu banyaknya seniman, sastrawan, dan teaterawan yang aktiv dan menguasai forum-forum di lingkaran kampus putih kampus perlawanan. Dan buka politik yang kemudian membesarkan Kampus perlawanan ini. Benarkan demikian? Marilah bersama merefleksikan dengan puisi!

Civil Community, 26 Maret 2011. 03:05 Wib


Penyair Kampus Perlawanan Kembali Bermunculan Penyair Kampus Perlawanan Kembali Bermunculan Reviewed by Unknown on 11:15:00 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.