Monologia Perjalanan Putra Kawindra (3)

Koleksi Pribadi
Catatan Selendang Sulaiman Tahun 2010

27 Desember 2010: Di warung kopi lagi, tempat segala sesuatu dalam hidupku bergeser. Kira-kira setahun yang lalu aku terbiasa singgah di warung kopi. Setiap hari, setiap sore, malam sampai tengah malam, tiada jenuh, hanya tidak jarang merasa sesal yang sia-sia.

Malam selalu datang sendirian. Sebagaimana bayangan wajahnya menghampiriku setiap malam. Aku gelisah, dan rindu tak henti-hentinya mencipta resah. Nafasku sesak bila kehendak untuk berjumpa memuncak, serasa tiada ketenangan tanpa ada dia di sampingku. Namun bukan bayangannya semata yang mengacaukan isi kepalaku, hanya sebagian dari beragam persoalan dalam hidupku. Bukankah perempuan adalah pendamping setiap lelaki?. Ya, bukan dia perempuan yang menggelisahkan hatiku, tetapi keinginan besar yang tak terlampiaskan; impian, obsesi, profesi dan tanggung jawab.


Barangkali hanya nurani dan pikiran jernih yang mampu menerima kehadiran sosok perempuan dalam hati setiap lelaki yang disibukkan dengan tanggung jawab dalam sebuah Organisasi. Namun tidak bagiku, perempuan ibaratnya embun pagi yang meniti di atas daun-daun yang menyegarkan. Sebagaimana aku selalu menulis puisi tentang perempuan dan keindahannya. Seperti suatu malam lalu, ketika pikiranku kacau dan balau oleh berbagai persoalan yang berkecamuk dalam kepalaku, hanya gelisah rindu yang mampu memadamkan kobaran api yang membakar otakku dengan kata-kata indah yang aku tulis menjadi puisi rindu untuk dia perempuan yang menghinggapi ruang kalbuku. Sebab hanya kata-kata puitis yang mampu menentramkanku; Sebagaimana metafor aku datang padamu di malam atau siang ini. Kau sedang sakit bukan? Kata-kata telah bercerita padaku sejak sekian waktu lalu; Aku yakin kau bertahan dari keindahan metaphor yang serupa dengan kata-kataku. Jangan takut, aku tak akan terlelap lalu menjelma kata-kata di tidurmu; Jika kau merasa nyeri oleh luka, waktu akan larut dalam sakitmu. Nikmatilah! Ia lebih ngilu dari rahasia dalam kata-kataku atau metaformu yang memanah hati dan jiwaku atau hati kita. Merawat suasuatu ambigue. Rianda, jika hidupmu menyala oleh kata-kata yang menjadi metafor. Congkallah kedua bola mataku. Maka kau akan dapatkan semesta kebahagiaan.

Malam selalu datang sendirian. Sebagaiman puisi yang lahir untuk dia perempuan, “Rianda” aku memanggilnya. Dia adalah perempuan yang setia aku temani setiap kali merasakan keresahan dan kekecewaan di hatinya. Dia pula perempuan yang setia mendengarkan cerita-ceritaku, ketika aku sudah pening memikirkan urusan Organisasi. Malam selalu datang sendirian. Sebagaimana rasa yang timbul di hatiku dan hatinya. Rasa yang tiba-tiba lahir dan hampir meruntuhkan persahabatanku dengannya. Entah apa namanya, aku menjadi bodoh untuk mengartikan dan menafsirkannya. Orang-orang bilang, itulah rindu, tetapi bagiku begitu tabu. “Asa dan harapmu tak patah oleh badai, keraguan yang buatmu tepiskan mimpi. Sungguh, angin itu berniat belai gerai rambutmu, janganlah kau takut!” Katanya suatu waktu.

“Bagaimana mampu aku menolongmu, jika uluran tanganku kau lempar ke sungai deras. Reranting yang kujulurkan kau patahkan. Apa yang mesti aku katakan? Teriakanku seperti bisik di telingamu!” Katanya lagi. “Entahlah, aku masih ragu akan kehadiran isyarat dan tanda yang kau utus padaku itu, sebab mimpiku sejak dulu selalu sepi dari cahaya. Aku takut, mata kucing yang tajam di mukanya itu, akan membelah mimpi-mimpi yang mulai aku rampungkan, walau tak serapi bulu-bulu kucing yang halus bak sutra itu”. begitu jawabku.

Hampir aku tidak luput berprasangka dan berceruiga padanya tentang perasaanku dan perasaannya. Suatu waktu yang tak pernah aku harapkan kehadirannya, aku bertemu di tempat biasa aku bercakap dan bertukar cerita dengan dirinya. Saat itu dia bicara lirih padaku: Semalam bulan sabit itu menjelma purnama sempurna, indah betul cahayanya. Meski kini kita kembali membangun benteng yang begitu tinggi, namun kau dan aku telah saling mengetahui dan menyimpan rapat sketsa rindu di hatiku dan hatimu. Kau tahu? Baru sekarang aku menyadari bahwa cinta seperti kopi. Pekat dan pahit, namun tak membuat kita berhintu meminumnya. Ya, seperti kopi yang selalu menjadi perantara pertemuanku dengannya.

Benarlah rindu adalah candu yang harus dinikmati setiap waktu. Dan tiada yang terang ketika asmara menjadi bara dalam hati yang membara. Seperti kilatan cahaya di terik siang yang tak dapat dibedakan. Seperti adanya dalam diriku. Seperti bayang-bayang yang kehilangan bentuk dan rupa. Namun jelas dalam ingatan. Itulah cinta. “Seperti air mata. Indah tangismu, waktu itu” Mungkin ini adalah pernyataan yang paling jujur padamu serta pertanyaan yang paling tulus pula untukmu. Atau hanyalah kenakalanku saja dalam menggunakan kata-kata indah. Namun itulah rindu yang aku sempay nalar.

16 maret 2011: Cafe Barbados; The different place to make you so blue. Lagi, aku harus beradaptasi dengan tempat ini. Sebuah warung kopi yang baru aku sambangi untuk melakukan rapat Organisasi Kemahasiswaan. Cafe barbados namanya, sebuah cafee yang tidak asing lagi di kota ini bagi setiap pecandu kopi, orang-orang malam atau kami yang terbiasa kumpul melakukan rapat di warung kopi atau di cafe; cafe dan warung kopi sama saja.

Memang ada yang berbeda dan spesial dari kebiasaan kami sejak awal musim hujan ini. Kami jadi pecandu kopi, penjamu malam, penikmat udara dingin dari rintik hujan yang meresahkan para pemulung. Pemulung dan kami hampir serupa tak sama; sama tak serupa. Pemulung serupa dengan kami yang mencuri-curi waktu tangah malam. Kami tak serupa pemulung yang mencuri-curi waktu di siang bolong. Kami dan pemulung sama-sama tak serupa mancari jawaban hidup dan kehidupan dengan alam dan  keadaan. Sungguh jauh sudah jalan hidup kami basah sepanjang musim hujan ini.sepanjang persoalan yang tanpa ujung pangkal. Pertikaian yang tanpa masalah untuk diselesaikan. Deras hujan yang turun tanpa waktu tak juga meredam kerasnya batu prasangka dan tak pula mendinginkan kepala yang terbakar perdebatan .

Bersambung... baca selanjutnya di Monologia Perjalanan Putra Kawindra (4)
Monologia Perjalanan Putra Kawindra (3) Monologia Perjalanan Putra Kawindra (3) Reviewed by Unknown on 12:26:00 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.