Monologia Perjalanan Putra Kawindra (2)

Koleksi Pribadi
Catatan Kesadaran Selendang Sulaiman tahun 2009-2010

27 Desember 2009: Aku kalah. Kalah pada prasangka dan pada kemungkinan-kemungkinan yang membimbangkan hatiku bahkan mengombang ambingkan hidupku di tengah orang-orang bereputasi baik, berprestasi tinggi dan dapat dikata sudah memiliki nama dan sukses. Meski sebenarnya aku sudah punya nama “Selendang”. Tetapi aku merasa itu tidak adil untuk menjadi identitasku saat ini. Barangkali mereka juga sudah berkata seperti itu, jika tahu akan jalan hidupku yang mudah terobsesi.

Mungkin hanya sebuah kebiasaan dan telah menjadi bawaan sejak masa kanak-kanak. Lata menjadi bagian dalam hidupku, saat aku mengenal hidup dan mati, tepatnya sejak aku berusia empat belas tahun waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas kelas dua, dan sejak itulah aku juga mulai paham tentang perasaan  dan perempuan.

18 Februari 2010: Semua kembali pada mula asal, sebagaimana dulu, empat tahun lalu. Tentang cinta, cita, dan impian. Cinta yang lahir atas nama perempuan; hati cinta perempuan. Cita dan impian yang kugantung di ranting serta dahannya. Bukan sebab musabab yang niscaya terjadi, sebatas bagian terkecil dalam diri hidupku dan kehidupan. Aku ada menjadi berarti atas dasar cinta dan rindu. Cinta yang dia lahirkan di jantung hatiku dengan rerindu yang kian randu, berkembang, beranak-pinak. Sebagaimana cinta dan kasih yang dititipkan sejak berabad-abad yang lalu.

Cinta yang mengantarkan cita dan impian besar; menjadi penyair, seniman, atau pecundang dan begundal atau sebangsanya. Pun cinta yang membesarkan aku dalam kehidupan ini, sehingga paham dam mengerti tentang banyak hal dari yang hidup dan mati; dari yang ramai dan sunyi; terang dan gelap. Tentang persahabatan, cinta kasih, bahkan hakikat kehidupan yang sejati.

Tiada lain lantaran ada dia bagian tulang rusuk adam, ibunda Hawa yang menempati ruang teduh di ranjang istirah Bapa Adam. Seperti halnya aku, “dia” bulan sabit dari timur; memperkenalkan aku pada sosok manusia selain dari pada kaumku “kaum pria”. Tak lain tak bukan sebab ada cinta yang telah tumbuh menjadi sebatang pohon dengan reranting dan daunan randu di taman kalbuku. Hingga malam atau siang ini, pohon itu semakin besar, bercabang, berakar kuat, batangnya mencakar langit dan menantang matahari bahkan hujan berbadaipun pantang untuk tumbang. Ibarat riwayat setetes-setetes air menancap keras batu, bersama waktu akan berlubang pula; itulah cinta, cita, dan impian yang berkembang biak di hidupku.

Bila harapan berbatas waktu, ada doa terjadi kemakbulan; jika hidup untuk karena cinta, aku sakralkan ritual janur kuning melengkung dengan dirinya sampai potongan-potongan bambu menjadi atap istirah antara jasadku dan jasadnya.

Akhir November 2010: Lelaki belang berambut panjang. Begitulah kira-kira, sebutan terhadapku, “lelaki belang berambut panjang” Aku suka mengkoleksi nama-nama, membuat nama-nama indah untuk menghibur hatiku sendiri.

“Rianda!” aku suka menyebut dan memanggilnya meski sekedar dalam gumam atau sebatas dalam catatan. Nama yang lahir atas hati dan rasa yang dalam. Nama yang kuindahkan demi ridu-rindu yang menderu sepanjang waktu.

Tuhan, aku tahu Kau lebih paham dan mengerti tentang cinta kasih dan rerindu. Lebih lagi tentang diriku dan hati serta seluruh isi jiwaku. Karenanya aku bercinta dan menikmati rindu yang mencandu . Meski rasa perih dan nyeri terus menjalar di tubuhku Dan kemudian, cinta dan rindu itu harus dengan kejam aku bunuh! Apa sebenarnya yang terjadi dalam diriku? Aku bertanya atas kebodohan dan ketololan langkah yang mengalir diatas duri dan kerikil tajam.

09 Desember 2010: Terasa sudah lengkap masalah dan persoalan yang berkecamuk dalam pikiranku. Hampir aku tak mampu memfungsikan otak dan nalar sekedar untuk memecah sedikit darinya demi meringankan jengkal langkah kakiku. Jika ini adalah beban dalam hidup dan kehidupan.

Tadi pagi aku sempat SMS teman-teman yang aku anggap sejalan dalam menentukan hidup. Walau sedikit yang membuat persamaan, yakni kebiasaan berimajinasi dan melakukan sesuatu. SMS-nya beguni; tolong.. ada ular di kepalaku. Tolong, tolong jangan berisik dia sedang terlelap tidur sekarang.

Entah apa maksud dari isi kalimat SMS yang aku kirim itu, yang pasti sepagian itu aku begitu gusar dan kepalaku terasa pening oleh beragam persoalan yang tumpang tindih berebut posisi nyaman di syaraf-syaraf otakku. Bicarapun kebanyakan yang ngaur, untung saja jalanku tidak sempat kesasar sampai akhirnya aku kembali tenang dan sedikit merasa nyaman dan aman berada di warung kopi.

24 Desember 2010: Hal yang paling menyenangkan hari-hari ini adalah ketika sebangun tidur aku berada di warung kopi. Kecuali ada aktivitas di rumah; misalnya kumpul-kumpul dengan keluarga. Namun tidak jarang aku ke warung kopi bersama keluarga. Entah kebiasaan ini sejak kapan atau sampai kapan? Aku lupa dan tidak tahu. Masih banyak hal yang lebih penting untuk kujadikan bahan berfikir dan merenung. Sebab aku adalah aku sendiri; penguasa bagi diri sendiri atau bahkan aku adalah peluang masa depan yang gemilang.

Bukan warung kopi atau segelas susu kopi atau sacangkir kopi hitam yang aku anggap pemuas dari keinginan sebangu tidur. Terkecuali, suasana yang kompleks. Keadaan dan kondisi yang selalu sesuai dengan hasrat dan kondisi fisik, rasa, dan psikisku. Jadi, tanpa aku harus beradaptasi aku betah disini, sendiri atau bersama siapa saja yang aku anggap sebagai wakil-wakilku menyelesaikan setiap agenda-agendaku.

Boleh saja ini adalah sugesti untuk dirikui sendiri dan mereka. Tampa harus terpikir olehku, mereka anggap ini sebagai persepsi atau asumsi yang konyol.  Benak mereka sedang kepayang dengan dirinya sendiri yang diliputi berbagai masalah, persoalan dan tanggung jawab. Sedang warung kopi adalah jawaban baginya, karena bisa melepas sebagain kecil dari beban pikirannya.

Tidak terasa, matahari sore telah hilang di balik punggungku. Sedikitpun aku tidak menghiraukan kepergiannya, sebab membaca diriku, itu lebih penting. Walaupun aku selalu butuh hangat sinarnya.

25 Desember 2010: “Segelas air es dan secangkir kopi manis” Seperti biasa sestiap kali aku pesan ke kasir di warung kopi ini, sampai setiap kasir paham dengan apa yang akan aku pesan sebelum aku menyebutkannya. Di setiap situasi dan kondisi. Ya, kopi manis dan air es. Itu saja yang setia temani aku disini, di warung kopi ini, sesuai rasa. Itulah menu favoritku, di bangku pengganti meja dan kursi di ruang kelas. Segalanya aku dapatkan disini, pengetahuan apapun. Pendidikian yang liar, teman berkarir, pengalaman tentang apa saja. Apalagi mengenai persoalan konflik, taktik, dan strategi ada disini. Mau bicara ekonomi, sejarah, budaya, dan politik seolah menjadi mata pelajaran atau mata kuliah seperti dalam pendidikan formal. Apalagi tentang seni dan sastra, disinilah ruang pelepas penat berimajinasi di kamar pribadi.
Bersambung.... Baca selanjutnya : Monolia Perjalanan Putra Kawindra (3)
Monologia Perjalanan Putra Kawindra (2) Monologia Perjalanan Putra Kawindra (2) Reviewed by Unknown on 12:19:00 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.