Monologia Perjalanan Putra Kawindra (1)

Koleksi Pribadi
Catatan Selendang Sulaiman Tahun 2009

Pada mulanya aku tak berpikir panjang tentang hidup dan kehidupan ini, terlebih tentang diriku sendiri. Lantas bagaimana aku bisa ada hari ini dan berada diantara mereka? Bagaimana bisa hidup menjadi sebegitu wajarnya?

Pertanyaan semacam itu yang membuat aku bertahan sampai sekarang. Pertanyaan yang terus merambah di urat-urat otak kepalaku dan menjadi jarum karat di lubuk hatiku.


Berawal dari itulah aku menuliskan kalimat-kalimat ini yang aku yakini bakal dibaca oleh orang lain, entah dari mana asalnya. Jika tidak demikian, untuk apa aku menulis? Tetapi lupakanlah!. Aku hanya ingin mencatat perjalanan hidupku dalam waktu dua tahun ini. Dua tahun yang sulit untuk  aku pertanggung jawabkan pada keluarga, guru, dan mereka yang menganggapku ada, bahkan buat siapa saja yang tidak menerima keadaanku. Semua itu terlalu sukar aku rangkai menjadi rentetan cerita yang utuh, cerita yang indah seperti catatan-catatan para tokoh dunia.

Aku hanya segumpal daging yang ditakdirkan hidup sebegini adanya. Hidup

yang penuh dengan pilihan-pilihan yang kurang indah untuk diceritakan pada

anak dan cucuku. Pun aku tidak jarang merasa naif untuk mengenang

perjalanan hidupku selama dua tahun ini. Tetapi sebuah keyakinan yang aku

yakini sekarang, membuat aku benar-benar ada dan hidup sewajarnya,

meski aku harus menahan rasa perih di kepala dan nyeri dalam dada.


28 Juli 2009: sebuah keyakinan yang kau tanam, akan melahirkan sejumput ilalang yang dongaknya menyemai purnama dan keraguan yang membentang diantara kedua sayapmu, akan membawa seluruh jiwa dan ragamu ke lembah-lembah yang penuh dengan darah luka, nanah kelukaan, dan air mata yang melara. Aku tahu, betapa cinta di hatimu telah menggelorakan gumpalan-gumpalan rindu pada sang kekasih, yang pada setiap letupanya bukan lagi semerbak wangi kembang malam, melainkan sekerat desah ketakutan yang kerap kali membuatmu murung dalam tidur. Bahkan bila saja rembulan di matamu itu, tiba-tiba menjelma gerhana. apakah kau masih akan melihat purnama-purnama lain yang kapan saja akan datang untuk memberi sinaran di hatimu?.

21 Desember 2009: Tujuh hari yang lalu, aku bersepakat  dengan diriku  untuk melipat selendang kumal yang melingkar di leherku sepanjang waktu ke dalam lemari usai dicuci, bersih dan rapi disetrika. Tentang hari dan tanggalnya aku tidak sempat mengingatnya. Tentunya, malam atau hari ini adalah hari ke-tujuh

selendang tidak lagi melingkar dileherku. Bukan sebab aku sudah tidak menghargai waktu atau sengaja melupakan, bahkan tidak ingin mengingatnya. Hanya saja kapan hari dan tanggalnya memang tidak terlalu penting untuk aku katakan pada siapa saja yang suka membaca tulisan kesaksian ini. Aku hanya tidak ingin menambah kekecewaan di hatiku dan di hati orang-orang, entah sahabat, teman, kawan, dan orang yang tanpa sengaja berjabat tangan  dan kemudian saling bertukar nama dengan aku.

Cukup aku saja dan buku catatan harianku dalam memory ingatanku yang tahu. Walau aku juga tidak menjamin dengan merahasiakan waktu kapan selendang itu harus pergi dari kehidupanku dan orang-orang, tidak akan memperparah kekecewaan. Sebab sesuatu yang indah dalam pandangan siapa saja, dengan tiba-tiba harus raib tampa pamit sudah pasti melahirkan rasa kecewa. Jujur, aku sendiri sungguh sangat tidak rela selendang di leherku yang setia mewakili panggilan namaku harus hilang tanpa sebab dan alasan yang pasti. Sesekali aku menyesal, geram sendiri ketika melihat selendang tergeletak di lemari, terlipat rapi di antara tumpukan-tumpukan kain yang kapan saja membungkus tubuhku sesuka hati.

25 Desember 2009: Sungguh aku terpuruk saat ini, ketika selendang benar-benar aku tinggalkan untuk beberapa waktu entah sampai kapan. Aku membiarkannya istirahat biar tenang dengan kehidupannya sendiri. Sebab aku telah rapuh untuk menyebut namanya sebagai pangilan namaku. Oh, betapa kejam diriku!

Selamat berpisah selendang kebanggaanku, selendang yang telah menjadi almamaterku, identitasku, bahkan menjadi teman karib dalam perjalanan rantau hidupku. Selendang kumuh kumal kata orang-orang, selendang warna kuning keemasan dengan bunga-bunga warna coklat, batik khas Madura warisan nenek tercinta yang Ibu berikan padaku menjelang aku pergi mencari yang pasti ke negeri rantau.

“Aku masIh ingat jelas waktu perrtama kali aku mengenalnya, dia lucu sekali. Aku ingin tertawa bila ingat itu,” pertama aku mengenalnya pada musim hujan saat cuaca malam tak jarang turun hujan, udara terasa dingin. Aku suka keluyuran tangah malam waktu itu, atau memang obsesiku. Kata seorang teman dan guruku, “jika aku ingin menulis puisi atau sajak maka tulislah di waktu malam ketika suasana sepi dari hiruk pikuk percakapan orang-orang.” Aku sepakat dengan usulan itu, sampai aku tak pernah mau menghabiskan malam di ranjang kamar rumahku.

Eli Eli Lamma Sabaktani (Doa Yesus pada Tuhannya) “Tuhan, kenapa Engkau tinggalkan aku?” sebagaimana rintih selendang sejak pertama aku tingalkan. Terngiang di telinga ia menjerit-jerit meraung-raung menangisi kekalahanku.

bersambung....
baca selanjutnya: Monolia Perjalanan Putra Kawindra (2)
Monologia Perjalanan Putra Kawindra (1) Monologia Perjalanan Putra Kawindra (1) Reviewed by Unknown on 12:07:00 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.