Catatan Dingin di Kali Adem

Sumber Foto: belajar-di-rumah.blogspot.com
Kicauan Selendang Sulaiman

Di kedalaman tubuhku rasa panas masih terasa. Tenggorokan dan mata juga panas. Lidahku terasa pedas oleh kata-kata yang tak dapat kutahan melompat. Ini kebiasaan tubuhku setelah di dekap dingin semalaman dana dalam keadaan terjaga (tanpa tidur semalaman).
Tadi malam jam dini hari aku sampa di kali adem (km 22 puncak merapi), di villa intan merapi. Dingin. Dingin menyerang sepanjang perjalanan. Aku tidak pakai jacket. Aku tidak punya kacket. Aku pakai selendang. Selendang yang aku pakai kemana-mana. Selendang identitasku. Aku juga tidak dapat membawa jacket kulit dari pacarku di tubuhku yang rentan kedinginan pula dan kemudian akan rajin pergi ke kamar mandi. Tetapi aku menggunakan penghangat di kedalaman jiwaku.

Pikiran terasa hampa kepanasan. Pengap oleh sekian gejala intrik politik mahasiswa sisa peristiwa pemilihan mahasiswa beberapa hari lalu. Ada rindu menyelinap masuk ke dalam pikiran, perasaan dan catatan hidupku. Aku mencari hangat ke sela-sela bulu putih di kedua sayap si rindu. Sambil aku merokok dengan singkat. Cepat. Lenyap seketika. Berkali-kali. Seraya menerima tusukan dingin di pori-pori. Aku pergi ke lingkaran orang-orang sebagai tamu yang berkoloni-koloni. Aku merapatkan buah lututku kanan-kiri di lutut meraka tamu. Aku bercanda renyah melenyapkan perasaan dingin.
Kami tertawa lepas dan bebas setelah kelucuan dihadirkan dari bibir yang sibuk melumat batang rokok yang semi manis dan kopi panas yang tak terasa caffeinnya. Kehangatan melintas sebentar-sebentar. Percakapan beku. Omongan kesana kemari dari soal musik sampai masalah gadis-gadis. Dari masalah senja ke persoalan kopi. Dan dari kontroversi pelarangan merokok sampai pada ciri-ciri koboi. Tetapi dingin yang alami tidak bisa disiasati dengan manja: percakapan hangat yang dikemas-kemas cemas.
Aku cemas pada diri sendiri yang nakal dan malas mencari arti. Aku cemas karena ketika aku dingin dan rasa rindu hadir menyindir andrenalin seperti tiupan angin centil di telinga, aku hanya bisa menghisap batang rokok dalam-dalam sambil menyeruput kopi senikmat mungkin. Lalu kupanggil-panggil si penilik rinduku lewat kata dalam puisi yang tak terbahasakan di bibirku.
Para tamu (sahabat-sahabat pergerakan) bergegas pulang maraton masing-masing koloni. Akupun beranjak pada kelompok tamu yang lain, tamu terhormat “kaum elite mahasiswa” di sebelah, di ruangan yang lain. Dengan segenap rasa dingin kutemui mereka dengan sisa mantraku yang tak menjinakkan tipudaya dan muslihat. Mantra pura-pura dan kira-kira lupa di pikiran gelap mereka. Aku duduk di antara dua orang (orang penting di kampus) dan nomor satu di tingkatan mahasiswa versi Blandongan dan mato. Aku menyimpana tawa “kasihan” di hatiku sebelah kiri (mereka yang tak butuh rasa belas kasih). Toh mereka sudah bangga dengan gengsi lacurnya yang minta ampun.
Aku benar-benar duduk tenang di antara orang penting “katanya” di kampus dan di organisasi mahasiswa ekstra kampus yang memiliki lambang bintang sembilan. Aku duduk di tengah-tengah mereka untuk sedikit melupakan rasa dingin. Meski sebenarnya, tanpa harus duduk di sisi mereka (yang satu ketua organ ekstra kampus tingkat universitas dan yang satunya lagi si presiden mahasiswa terpilih kemaren), aku bisa menepis rasa dinginku dari tubuhku sendiri yang ringkih dan tak jarang suka merintih. Bahkan rasa dingin di kali adem dapat lenyap perlahan dengan obrolan semi intrik sisa obrolan konsolidasi partai yang dapat membakar emosi dan pikiran dari bibir mereka (kecut tanpa nilai). Aku menjadi pendengar yang baik dan bijak. Aku setidaknya sudah menymbang tawa sumbang dalam keriangan mereka yang getir. Mereka tertawa untuk menegaskan bahwa percakapan mereka tidak ada lucunya sama sekali. Sesekali mengapresiasi dengan sedikit nyeletuk yang kurasa kurang penting pula.
Aku berpikir: ternyata mental pemenang mereka cukup murah dan tak terkesan elite sama sekali. Aku tersenyum sendiri menyaksikan kekonyolan demi kekonyolan mereka yang lekas lenyap dan beku oleh udara yang begitu sengat dinginnya di kali adem. Tubuhku sudah mulai mencair oleh kehangatan yang kutimbulkan dari jiwaku yang rindu dan dibantu oleh perasaan yang menahan emosi agar tidak pecah sebagai umpatan yang berarti suplement buat mereka. Aku menahannya kuat dan lekat. Sebab aku merasa hanya akan membuat mereka semakin bangga, karena telah merasa berhasil membuatku terpicu. Dan aku akan dianggap reaksioner karena posisiku juga dalam keadaan kalah.
Dengan penuh kesadaran, aku bertahan untuk tidak terpancing oleh tekanan-tekanan bahasa intrik yang kian menjurus pada tim yang kalah dalam lingkaran kami ketika itu yang dingin-panas. Aku diam sambil menunduk tersenyum santai buat diriku sendiri yang lucu sendiri. Tidak heroik sendiri seperti mereka.
Semakin lama, tawa mereka semakin lepas dalam kemenangan getir. Pikiran dan perasaanku pun bertambah liar membaca maksud mereka. Aku sudah mulai paham kemana arah obrolan mereka yang penuh dengan sandi-sandi gombal. Aku mencari celah untuk menutup mulut mereka tanpa harus menyumpalnya dengan umpatan yang dapat membunuh karakter mereka. Aku mencoba sesantun mungkin biar mereka dapat bisu dan beku. Kemudian membicarakan hal-hal yang lebih penting. Aku tertawa dan berkata pada diriku sendiri, Kasihan. Mereka menjadi gelap begitu dalam kemenangan yang buas dan puas dengan mengalahkan tim yang juga terhitung rapuh.
Aku berhasil menenangkan diri dan dapat meyakinkan mereka bahwa aku paham maksud dari intik-intrik tengik dari bibir mereka yang sibuk juga dengan batang rokok. Sesekali mereka diam untuk sekedar menelan ludah pahit kebencian yang akut pada rival politiknya yang duduk anteng dan tampak risau di antara mereka juga minoritas. “Tertawa saja membutuhkan tim!” celetuk salah satu dari mereka yang sok “yes!”
Aku semakin yakin bahwa mereka tidak akan selamanya menjadi tim yang kuat dan utuh seperti ini malam yang dingin di kali adem. Mereka bebas dari kedinginan karena terus terbakar oleh api obsesi dan ambisi dalam tubuh mereka masing-masing. Tuan makan tuan, satu per satu akan saling mangsa dalam kesatuan tim mereka yang menang dalam satu putaran yang “moh”.
Ya obsesi, ambisi dan parasit kekuasaan hampa di tubuh yang entah. Sebabm kebenaran dan kebaikan sudahlah dianggap sebagai pemilik si pemenang. Abu-abu. Hanya klaim dan sugesti turun temurun yang tak selamanya mesti diamini.
Gerimis kecil turun. Rinai damai di udara. Percakapan mereda. Rupanya tertawa juga membutuhkan tim apalagi dalam politik praktis yang anarkis. Begitulah kesimpulan pertama yang dipertegas sebagai intrik sengit bagi pihak yang kalah. Maaf, ini bukan keberpihakan dan bukan pula umpatan kekalahan.
Semakin pelan mereka tertawa. Samakin kelihatan mereka kelelahan. Mereka sudah tampak kedinginan. Tubuhku masih kedinginan. Kaki-kakiku masih bergerak-gerak sendiri mencari kaki yang biasa mengajaknya bercanda dalam selimut. Tanganku mencari lekukan di tubuhku yang rindu dimana ada kehangatan di dalamnya.
Masih panjang dan banyak hal yang penting untuk aku tulis dari silaturrahmi meraka yang terhormat. Tetapi, aku sudah tidak ingin melanjutkannya lagi. Demi menjaga hati dan pikiran agar tidak jatuh pada cerita-cerita sentimentil yang lebur di kepalaku. Pacarku, kamu juga dingin bukan di paris? aku juga merasakan kedinginan yang akut tanpamu. Aku menikmatinya karena aku aku selalu ingat kamu untuk berpikir kehangatan.

Blandongan, 12-06-2013

Catatan Dingin di Kali Adem Catatan Dingin di Kali Adem Reviewed by Unknown on 12:49:00 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.